Iklan dewan

Pilkada Antara Perebutan Kekuasaan dan Pembangunan Daerah

REDAKSI
Jumat, 10 Mei 2024, Mei 10, 2024 WIB Last Updated 2024-05-11T01:46:15Z

 


Matakita.com, Pilkada -Menjelang Pilkada serentak 2024 kita banyak diserbu citra Simulakra melalui baliho dan spanduk tanpa makna, konsep semu, dan slogan bualan penuh janji. 


Namun sekali lagi, politik mudah berubah. 


Pemilihan kepala daerah tahun-tahun kemarin cukuplah menjadi pengalaman bagi masyarakat untuk memilih orang-orang yang tidak cakap dan tidak cukup memiliki kapasitas mengurus hajatan publik. 


Cukuplah pada Pemilihan Kepala Daerah 2019/2020 lalu rakyat memercayai orang yang "dianggap baik" untuk memperbaiki sistem. 


Namun, ternyata orang baik tidaklah cukup ketika berada dalam lingkar sistem yang begitu predatoris.


Kita butuh pemimpin, kepala daerah berintegritas dan memiliki imajinasi kuat untuk membangun.


Kenyataannya, banyak kepala daerah yang harus tertangkap karena perilaku koruptif dan maraknya praktik transaksional.


Kenyataannya pula, banyak kepala daerah tak mampu menunjukkan kepemimpinannya yang memberi manfaat bagi daerah yang dipimpinnya.


Kepemimpinan itu tak memberi jejak berarti.


Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, daerah dan rakyat membutuhkan pemimpin bertanggung jawab, berani melakukan terobosan, tidak terlena dalam wilayah nyaman, dan mampu menghadirkan watak pemimpin, bukan penguasa.


Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 yang rencananya akan digelar 29 November nantinya diharapkan menjadi momentum menentukan untuk perkembangan setiap daerah yang melangsungkannya. 


Penentuan apakah hajatan demokrasi yang berlangsung sekali dalam lima tahun ini akan melahirkan kepemimpinan daerah yang melayani kepentingan rakyat atau untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.


Bahkan mungkin juga pertarungan perebutan kepala daerah yang lebih mengutamakan pengamanan jejaring bisnis para calon kepala daerah dan kroninya lewat harmoni antara pemerintah – pengusaha, hingga calon kepala daerah yang hadir untuk membangun dinasti politik keluarga.



Bukan Penguasa Apalagi Raja





Selama ini paradigma dan perspektif tentang kepala pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah adalah pemilik kekuasaan. 


Kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan, sehingga memungkinkan terjadinya pergeseran tujuan perebutan kepala pemerintahan menjadi perlombaan untuk menguasai apa yang hendak diperintah.


Sehingga tidak mengherankan jika banyak gubernur, wali kota, bupati menjadikan jabatannya sebagai waktu untuk mencari keuntungan pribadi, membangun jejaring bisnis, hingga dinasti politik keluarga.


Dengan kewenangan yang sangat besar dalam UU Otonomi Daerah dalam hal regulasi dan anggaran daerah, banyak kasus korupsi keuangan dan kebijakan izin yang terjadi bermasalah di muka publik, sehingga sering muncul anekdot bahwa Pilkada adalah perebutan kekuasaan untuk menjadi raja-raja kecil di daerah.


Paradigma dan prespektif lama bahwa kepala daerah adalah penguasa daerah tentunya bukanlah sesuatu yang tepat. 


Paradigma yang seolah-olah menyatakan bahwa kepala daerah adalah raja dan rakyat adalah hamba.


Paradigma yang sangat jauh dari substansi demokrasi, karena demokrasi sejatinya adalah proses melahirkan kepemimpinan dari rakyat dan untuk rakyat serta memiliki hakikat sebagai pelayan rakyat. Yang mengerjakan segala sesuatu yang kekayaan yang dikelola dan dikerjakan untuk dikembalikan kepada publik dalam substansi republik ( Res-Public )


Pemimpin sebagai pelayan rakyat belakangan banyak bermunculan dalam tagline kampanye-kampanye politik di setiap hajatan pemilihan.


Meskipun itu hanya lips service marketing semata untuk menarik minat para pembeli.


Pemimpin yang melayani sejatinya akan lahir dari proses demokrasi yang memiliki kualitas sedari awal, yakni dari proses penjaringan, penentuan visi dan misi, tawaran program atau konsepsi, hingga lebih detail pembuktian harta kekayaan para calon.


Momentum Kemajuan


Momentum pemilihan kepala daerah seharusnya dapat digunakan publik untuk menentukan arah perkembangan daerahnya, dengan melihat rekam jejak, program hingga kapabilitas calon kepala daerah.


Momentum di mana masyarakat seharusnya menggunakan kedaulatannya untuk melahirkan kesepakatan dengan para calon dalam bentuk program, penyelesaian persoalan dan segala harapan, melalui komunitas, organisasi atau perkumpulan yang sering bermunculan dalam setiap hajatan demokrasi.


Namun, yang terjadi selama ini adalah organisasi, komunitas dan perkumpulan lebih mengedepankan kesepakatan dalam bentuk materi, proyek bagi pimpinan organisasi, hingga beberapa jabatan yang menjadi kesepakatan dalam suatu proses dukung mendukung kepala daerah.


Mutu dan kualitas demokrasi sejatinya sangat ditentukan oleh kemampuan publik sebagai pemilik kedaulatan untuk mendudukkan kepentingannya dalam kinerja dan setiap kebijakan yang diberikan kepada pemegang mandat yakni pimpinan yang dipilih.


Karena demokrasi sebagai sistem adalah jalan untuk melaksanakan kehendak rakyat tanpa mengurangi ataupun menghilangkan kehendak rakyat lainnya, di mana para pemilih memberikan sebagian kedaulatan dan kemerdekaannya kepada pelayan atau pemimpin yang melaksanakan kehendaknya.


Demokrasi juga sangat ditentukan oleh pengawasan dan monitoring secara terus menerus, sehingga sangat diperlukan kemauan dari publik yang akan dan telah memilih untuk melihat laporan harta kekayaan, mengevaluasi setiap kebijakan hingga kinerja, bahkan menagih janji – janji politik saat kampanye.


Komentar

Tampilkan

  • Pilkada Antara Perebutan Kekuasaan dan Pembangunan Daerah
  • 0

Terkini